ORANG ITU MALAIKAT SPESIAL UNTUKKU!
Aku memang seorang manusia biasa, walaupun dicap sebagai santri yang seakan tak mungkin malas untuk beramal shaleh, juga dicap sebagai anak akademik yang cukup mumpuni untuk hidup dengan visi misi yang jelas dengan komitmen yang tinggi. Yah, aku akui aku manusia sebagaimana manusia lainnya. Ikrar ini menunjukkan kepasrahan, namun bukan bersifat pembelaan untuk membolehkan diri serta merta memperdayakan kelemahan tersebut untuk semakin lemah, melainkan karena Kekuatan yang aku imani keberadaan-Nya.
Suatu ketika, malas menyeruak bagai dicumbui mekar bunga di pekarangan pagi hari, atau bau tanah bekas basah hujan malamnya. Entahlah, saat seperti itulah semangat seperti menempati lapisan terbawah kesadaran atau keinginan. Atau jika pasang, maka ia sedang pasang dan membutuhkan perkara lain untuk menariknya mencapai permukaan normal. Acap kali saat seperti ini merentan terjangkitnya penyakit-penyakit lain diatasnya, yah seperti tangga (;bertingkat) begitulah. Misalnya, setelah malas yang satu datang, malas yang lain pun menimpa. Dan semakin sulitlah untuk menemukan “kembali” diri yang suci, seperti telah tertimbun begitulah, hampir saja hendak melupakannya membusuk. Itu hal yang tergawat! Membiarkan masa lalu yang baik sebagai onggokan sampah yang dielus-elus angin sembarang atau dimasukkan dalam keresek hitam dan dilempar sembarang. Yah, saat itu aku mulai hilaf bertahajud dan meninggalkan puasa sunah. Alasanku jelas sekali aku keluhkan dalam shalat fardhuku: “Ya Alloh maaf aku lupa shalat tahajud, sungguh Engkau Maha Tahu, semalam hamba sangat sibuk dan capek, sungguh ini buat atas agama-Mu kok...” Atau dikesempatan lain: aku gak puasa ah, hari ini kan ada job ke timur, ke utara, abis itu ke selatan. Eh lagian maag aku masih sakit. Yeeeha, aku tenang – tenang saja. Aku pikir perbuatanku ini tidak akan berpengaruh besar untuk hal-hal terbaik dari diriku.
Suatu ketika, malas menyeruak bagai dicumbui mekar bunga di pekarangan pagi hari, atau bau tanah bekas basah hujan malamnya. Entahlah, saat seperti itulah semangat seperti menempati lapisan terbawah kesadaran atau keinginan. Atau jika pasang, maka ia sedang pasang dan membutuhkan perkara lain untuk menariknya mencapai permukaan normal. Acap kali saat seperti ini merentan terjangkitnya penyakit-penyakit lain diatasnya, yah seperti tangga (;bertingkat) begitulah. Misalnya, setelah malas yang satu datang, malas yang lain pun menimpa. Dan semakin sulitlah untuk menemukan “kembali” diri yang suci, seperti telah tertimbun begitulah, hampir saja hendak melupakannya membusuk. Itu hal yang tergawat! Membiarkan masa lalu yang baik sebagai onggokan sampah yang dielus-elus angin sembarang atau dimasukkan dalam keresek hitam dan dilempar sembarang. Yah, saat itu aku mulai hilaf bertahajud dan meninggalkan puasa sunah. Alasanku jelas sekali aku keluhkan dalam shalat fardhuku: “Ya Alloh maaf aku lupa shalat tahajud, sungguh Engkau Maha Tahu, semalam hamba sangat sibuk dan capek, sungguh ini buat atas agama-Mu kok...” Atau dikesempatan lain: aku gak puasa ah, hari ini kan ada job ke timur, ke utara, abis itu ke selatan. Eh lagian maag aku masih sakit. Yeeeha, aku tenang – tenang saja. Aku pikir perbuatanku ini tidak akan berpengaruh besar untuk hal-hal terbaik dari diriku.
Suatu hari dalam sebuah meeting terbuka, aku senang sekali bisa berbincang dengan kenalan baru yang sepertinya cukup lumayan jika disebut berkaliber (maksudnya, yaa begitu deeh). Kami berbagi pengalaman (mungkin tepatnya aku menemukan banyak pengalaman darinya), perlahan tapi pasti kami terseret dalam pertanyaan-pertanyaan tentang diri kami. Ia pun sepertinya tertarik nian dengan logat dan gayaku yang berusaha tampil elegan (:). Aku cukup puas dengan keberlanjutan percakapan kami yang sempat terpisah dengan beberapa adegan di meeting. Namun pada percakapan berikutnya, aku sedikit tercengang. Tiba-tiba pertanyaannya menyudutkanku, aku ciut. Dia menanyakan “hal-hal yang telah kutinggalkan dengan malas” itu... Nadanya penuh harap aku ber-iya, tapi aku tersenyum, tanpa menjawab.
Saat itu juga aku yakin dia bukan manusia biasa “untukku”. Tangan Allah saat itu terasa begitu hangat, membuatku tersipu malu. Aku seakan berada di dekapan-Nya, dan seketika aku mencintaiNya, lagi.
Aku menangis malam berikutnya dalam sujud dan sahur. Keindahan-keindahan setelah itu menjadi nyata, tidak kembali membuatkua hanyut. Aku lupa tidak berterimakasih untuk kebiasaan ini yang membuatku mampu bercerita dan fasih atau juga mampu bersimpati dan empati. Akhirnya, orang itu kusyukuri sebagai malaikat special dari Allah untuk membangunkan kembali lapisan bawah dari diriku yang lama tak muncul. Untukmu yang (maaf) kulupa namamu, terimakasih telah pernah menjadi malaikat pengingat bagiku. (^_^)
Allah Ar-Rahman Ar-Rahim, selalu memiliki cara-cara yang terbaik untuk mencintai hamba-Nya.... tinggal bagi hamba itu sendiri, apakah ia hendak menerima atau mengingkari keberadaan-Nya....
Allah Ar-Rahman Ar-Rahim, selalu memiliki cara-cara yang terbaik untuk mencintai hamba-Nya.... tinggal bagi hamba itu sendiri, apakah ia hendak menerima atau mengingkari keberadaan-Nya....
Ceritanya menjadi motivasi untuk maju :) baik :)
BalasHapusheu, siip. sukses untuk anda ^^
BalasHapus