Refleksi Pembelajaran

 01-04-20014 

Beberapa hari yang lalu, aku sempat gundah dengan keadaan diriku sendiri yang kurasa amat terbelakang, menurun dalam segala bidang – termasuk bidang yang dahulu kurasa menjadi unggulanku. Pertanyaan besar: ADA APA dan MENGAPA seakan terus mengikuti segala aktivitas yang kulakukan. Sehingga aku begitu ketakutan dan merasa terdesak juga sesak oleh diriku sendiri. Sementara itu jawaban tak kunjung jua kutemukan di setiap detikan nafas, ingatan, pikiran, dan perbuatanku. 
Semua hal ini telah kucoba keluhkan pada seseorang yang paling kupercayai mampu mengerti situasiku sekaligus aku berharap menemukan apa yang kuinginkan yang memisteri tersebut. Namun, rasa hati masih hampa dan terus bertanya ada apa dan mengapa aku begini dan begini. 

Hari ini 01/04, pertemuanku dengan guru favoritku dalam perkuliahan seakan menjadi pintu untuk kumasuki, kujelajahi, dan kuuraikan masalahku di dalamnya. Sebenarnya beliau sama sekali tidak menyindirku seorang, tapi dia menasihati seluruh isi kelas – yang mengangguk-anggukan kepala dan menertawakan dirinya sendiri. Rupanya hampir samalah aku dengan teman-temanku, setidaknya dalam pemikiranku. 
Begini, aku sedang mengeluhkan diriku. Lantas beliau bilang, apa mengeluh? Mengeluh apa? Itu adalah sebuah tanda bahwa anda menjadi korban dari ambisi anda. 
Kuyakin beliau tak bisa membaca isi hatiku yang seketika bergemuruh kencang saat menyimak betul ucapannya. Satu aku temukan jawabannya adalah pada ambisiku. 
Di sanalah masalahnya, ada ambisi yang belum terpenuhi. Ambisi yang terus berdemonstrasi meminta haknya, menggerogoti perhatian yang tak tertuju padanya. Ambisiku? Cita-citaku, biarlah aku yang tahu. 
Masalahnya adalah pada apakah aku sedang memerhatikan jalanku untuk mencapai ambisi itu? –plak! 

Selanjutnya, beliau kembali bertutur menegur dengan paduan kata yang begitu teratur, sampai kurasa ia bagai hanya mempertemukan aku dengan masalahku dan segala kebimbanganku. Soal tanggung jawab, katanya. Mari bedakan antara keinginan dan kebutuhan. Keinginan menawarkan segala yang kamu sukai, betul? Kamu bebas di dalamnya. Sementara kebutuhan akan memintamu sebuah pertanggungjawaban. 
Contohnya, kamu ingin makan es krim, dan sisi lain tubuhmu perlu obat. Es krim memberimu kenikmatan dalam hal karena kamu menginginkannya. Sementara obat menjadikanmu bertanggungjawab atas kesehatan tubuhmu. Maka masalahku (mungkin kita semua kelak) adalah seberapa besar tanggungjawab yang telah kutunaikan sebagai seorang anak, hamba, mahasiswa dan warga masyarakat? 
Kamu tahu bagaimana manfaat dan bahaya dari minum kopi? Baik, maksudku dari segi mana anda memandang manfaat dan bahaya minum kopi itu sendiri? Dari segi keindahan, kealamiahan, dan atau dari segi kesehatan/keilmiahan? Tentu berbedalah jalan (baca: jawaban) yang dipilih. 
Artinya kata beliau, darimana sudut pandangmu melihat tujuan tersebut. Masalahku adalah apakah aku sudah menemukan sudut pandangku sendiri akan tujuan yang hendak kucapai? Apakah sudut pandangku menemukan tujuan yang tepat dan sesuai dengan kebutuhanku? Kupikir, aku harus menuliskan ini. 

Refleksi dari pembelajaran hari ini telah banyak membantuku menempas kegalauan yang memilukan. Aku menemukan kata kunci: ambisi, tanggung jawab, tujuan dan sudut pandang. Benang kusut pasti terurai ketika susah payahmu dikerahkan. Sebaliknya ia takkan pernah terurai jika kau berikan pada seekor ayam! 

Tetap semangat! Karena setiap adegan kehidupan ini adalah pilihan. Sementara dari pilihan yang dipilihlah taqdir dijatuhkan sebagai imbalan. Dan pada akhirnya setiap pilihan terpilih akan menuntut pertanggungjawaban. 
Bidik tujuan yang dibutuhkan, dan gunakan sudut pandang yang bersesuaian.

ZESTFUL!
Penulis dan sahabat-sahabat :)

Komentar