MUHASABAH: MENGINGATI PULANG
Ati Nurrohmah, UPI Kampus Tasikmalaya
“Pulang, saya mau pulang!” ucap seorang anak santri baru setiap kali ia menemukan kesedihan, kejemuan, atau kegalauan di lingkungan barunya. Seperti halnya aduan seorang anak kecil ketika mengingati ibunya, secara spontan menangis dan merengek ingin kembali ke pangkuan ibunya lagi. Nada serupa sering disebut-sebut pula oleh orang-orang yang berada di perantauan ketika merindukan kampung halamannya. Jadi, tidak hanya seorang santri baru, anak kecil, maupun orang dewasa, kita sesungguhnya suka merindui tempat pertama kali kita berpijak di bumi ini, yang disebut rumah, kampung halaman. Fenomena ini dilukiskan oleh Ibnu Qayyim sebagai berikut:
“Pindahkanlah hatimu sesuai selera tapi tiadalah cinta melainkan kekasih pertama. Berapa banyak tepat di bumi yang disinggahi pemuda tapi kerinduannya senantiasa pada persinggahan pertama”
Sehingga kenyataan ini berarti bahwa pada hakikatnya ada keterkaitan yang kuat antara diri kita dan kata “kembali”, alias pulang.
Selanjutnya, mari kita tengok aktivitas tahunan kita yang sedikit akan memaparkan fenomena rindu, yaitu masa mudik lebaran. Dimana di negara kita mudik sudah menjadi tradisi. Tak peduli betapapun sulitnya perjalanan, resiko yang menghadang, rela saja berkorban demi terealisasikannya satu kata; pulang. Kita sadari betul, rasa rindu terhadap rumah (atau rumah orang tua), kampung halaman, atau sebutlah sebutan apa saja untuk sebuah tempat yang penuh dengan kehangatan keluarga, terutama IBU, seringkali ada di tengah istirahat kerja bahkan di tengah kesibukan sekalipun. Setelah lama terpenjara dalam rutinitas kerja yang menyita pikiran dan tenaga, kita bertemu di satu titik dimana kata rindu pulang menjelma. Tak ayal, meski rumahnya sederhana bukan istana, di dalamnya tidak ada pelayanan seperti di hotel berbintang, tidak ada makanan ala restaurant, tetap saja rumah (atau rumah orang tua) selalu terasa betah dan istimewa.
Pertanyaan-pertanyaan seperti: bagaimanakah kabar ibu dan ayah? atau si buah hati? atau bagaimakah keadaan sekitar rumah? datang silih berganti dengan kesibukan dan diam-diam mewujud sebuah harapan untuk kembali pulang, sehingga ketika datang waktunya untuk mudik, terkumpulah beberapa oleh-oleh atau apapun yang dispesialkan bagi mereka yang akan menyambut di rumah. Terbayang senyum dan bahagia mereka, menjadi hal yang tak terkira harganya.
Begitulah adanya, kita selalu butuh ruang dan waktu untuk berbagi cerita, membuka interaksi dengan sesama dengan terbuka nan penuh suka cita.
Namun, apakah kita sudah jauh memahami keyakinan akan makna dari berpulang yang sebenar-benarnya, yaitu pulang yang tak kembali lagi? Mari perhatikan dengan seksama. Sejauh mana persiapan bekal untuk menemui Maha Pencipta, Rasul tercinta, dan perkumpulan orang-orang yang penuh kemenangan?
Sebuah umpama lainnya, ketika kita pulang lantas mendapati semua yang ada begitu mengesankan, tentu saja kepulangan kita berarti kebahagiaan. Lantas sebaliknya ketika berpulang tapi keadaan yang didapati amat mengejutkan (tidak membahagiakan) maka tentulah kepulangan menjadi sebuah penyesalan. Maka demikianlah halnya keadaan tersebut akan ditemukan di hari pembalasan.
Setiap orang dihadapkan dengan satu kemungkinan saja; bahagia atau menyesal selamanya. Bedanya dengan perumpamaan kepulangan sekarang adalah penyesalan nanti dibarengi dengan kecelakaan yang teramat pedih. Karena itulah barangkali di alam akhirat pun tak mungkin kita akan mendapati kebahagiaan dengan tangan hampa amalan hasan. Apalah artinya surga jika kita tak dapat menginjakkan kaki di dalamnya, atau bahkan mencium baunya.
Sebuah umpama lainnya, ketika kita pulang lantas mendapati semua yang ada begitu mengesankan, tentu saja kepulangan kita berarti kebahagiaan. Lantas sebaliknya ketika berpulang tapi keadaan yang didapati amat mengejutkan (tidak membahagiakan) maka tentulah kepulangan menjadi sebuah penyesalan. Maka demikianlah halnya keadaan tersebut akan ditemukan di hari pembalasan.
Setiap orang dihadapkan dengan satu kemungkinan saja; bahagia atau menyesal selamanya. Bedanya dengan perumpamaan kepulangan sekarang adalah penyesalan nanti dibarengi dengan kecelakaan yang teramat pedih. Karena itulah barangkali di alam akhirat pun tak mungkin kita akan mendapati kebahagiaan dengan tangan hampa amalan hasan. Apalah artinya surga jika kita tak dapat menginjakkan kaki di dalamnya, atau bahkan mencium baunya.
Padahal kita jelas mendambakan rumah yang penuh kenyamanan, di dalamnya bersama orang-orang yang kita sayang dengan penuh kenikmatan, dan terutama terhadap pertemuan dengan Dzat Yang Maha Penyayang. Sementara agar keadaan tersebut didapatkan, kita harus membelinya semenjak di perantauan, yakni dunia. Nasalulloha min husnil khotimah.
Akhirnya, fenomena ini jika kita ingati akan memberi sebuah nasihat: mari kurangi serta tinggalkan beban-beban yang akan memberatkan perjalanan pulang kita, sebaliknya mari baguskan amalan kita sebagai kendaraan yang akan mengantarkan kita ke keridhaan Allah swt. Semoga kita dapat pulang menuju tempat yang sebaik-baiknya, Allohumma amiin.
*Tasikmalaya, Oktober 2014, Buletin Mesjid Agung
Komentar
Posting Komentar
Terimakasih atas kunjungannya, semoga bermanfaat.