SOALNYA: KESADARAN
Suatu pagi dalam suasana kelas yang damai, dosen kami tiba-tiba bertanya: “Apa bedanya orang dengan manusia?”. Sesaat kesegaran aroma pagi tercium aneh. Apa yang dapat kami pikirkan tentang beda antara orang dengan manusia itu sendiri?
Padahal bukankah keduanya sama. Namun Alhamdulillah, puji bagi Allah, atas pertanyaan mendasar inilah kemudian kami dapat menarik suatu pernyataan tentang cara memperlakukan orang lain dan diri sendiri. Perlakukanlah orang lain sebagai manusia, bukan orang! Itulah pesannya.
Pernahkan mendengar kata “manusiawi”? Ya kata ini merujuk pada sifat manusia. Di dalam kamus besar Bahasa Indonesia, arti manusia adalah makhluk berakal budi. Dua kuncinya adalah berakal dan berbudi, dan pengertian ini berlaku untuk semua manusia. Adapun definisi “orang” menurut kamus merupakan manusia tetapi dalam arti yang lebih khusus. Kita tentu belum pernah mendengar kata “orangwi” bukan?
Tapi ada banyak sekali kata-kata kita temukan dikehidupan sehari-hari seperti: orang kaya dan orang miskin, orang baik dan orang jahat, orang pintar dan orang bodoh, dan orang-orangan lainnya. Sehingga sampai sini, kita temukan bahwa “manusia” berubah menjadi “orang”. Namun kita dapat menetap pada pandangan bahwa pada dasarnya orang-orang itu adalah sama, manusia. Lantas apa yang membedakannya?
Ternyata, soalnya adalah pada “kesadaran”. Ketika manusia sadar akan potensi dirinya, maka jadilah ia sebagai orang yang kompeten. Ketika manusia sadar akan dimana dia mampu bekerja, jadilah ia orang yang kaya. Ketika manusia sadar akan tujuan akhirnya, jadilah ia orang yang waspada. Juga ketika manusia sadar akan hakikat penciptaannya, maka dekatlah ia dengan Penciptanya. Sehingga ketika mereka tidak sadar, yang terjadi adalah sebaliknya.
Misalnya, ketika manusia tidak sadar akan apa yang menjadi kewajibannya, tentulah ia tak dapat memperoleh haknya. Ketika manusia tidak sadar akan apa yang dikerjakannya tentulah ia tak mendapat hasil apa-apa, selain rasa lelah yang bertambah. Ketika tidak sadar akan betapa banyak kasihsayang Tuhan diberikan maka ia selalu merasa kurang dan tidaklah sedikit pun berbahagia. Sehingga dari kesekian kegiatan tanpa kesadaran, berujunglah pada kerugian. Al’iyadu billah.
Karena itu mari kita ingati kembali firman Allah swt dalam Alquran Surah Adzzariyat ayat 56:
“Wa maa khalaqtul jinna wal insa illa liya’buduun”, Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku.
Kita diciptakan semata-mata adalah untuk beribadah kepada Allah swt. Artinya segala kegiatan di kehidupan ini seyogyanya diniatkan untuk beribadah hanya kepada Allah swt. Misalnya, tidur menjadi ibadah, makan dan minum menjadi ibadah, mandi menjadi ibadah, bekerja menjadi ibadah, bertamasya menjadi ibadah, belanja sambil ibadah, dan sebagainya. Itu semua sangat mungkin dilakukan, yaitu dengan cara memperbaiki niat dalam pelaksanaannya.
Sebagaimana kita ketahui dalam hadis yang Rasulullah menyebutkan bahwa segala sesuatu itu tergantung kepada niatnya. Dengan niat yang terurus-lurus, maka kegiatan semakin bermutu dan beroleh pahala pula. Salah satu ciri adanya kesadaran dan lurusnya niat adalah dengan mengawali segala perbuatan dengan menyebut asma Allah, Bismillahirahmanirahim. Subhanalloh walhamdulillah, alangkah indah menjadi seorang muslim mukmin yang selalu tersadar.
Namun, kita hanya manusia biasa, tak selamanya ada dalam zona kesadaran. Atas dasar itulah kita perlu mengejawantahkannya dalam suatu tindakan, yaitu doa. Doa sebagai bentuk penyerahan diri secara menyeluruh, bentuk pengakuan diri atas ketidakberdayaan, dan sekaligus mentauhidkan Alloh Alqadir, Yang Maha Kuasa. Doa meminta ditetapkan dalam kesadaran yang kemudian membawa
pada mudah dan nikmatnya beribadah. Kesadaran, ketetapan iman.
اللهمّ إنّى أسألك إيماناً لايرتدّ ونعيماً لاينفد ومرافقة النبي صلى الله عليه وسلّم في جنّة الخلد
“Allohumma inni asaluka imanan la yartadu wa na’iman la yanfadu wa murofaqota nabiyi shallallohu alaihi wa sallam fi a’la jannatilkhuldi”
“Ya Allah, sesungguhnya aku memohon kepada-Mu iman yang tidak akan lepas (murtad), nikmat yang tidak akan habis, dan menyertai Nabi Muhammad saw di surga paling tinggi selamanya “(Riwayat al-Hakim no 1883).
Kembali pada soal kesadaran yang tadi, dapat ditarik suatu pernyataan bahwasanya ketika manusia bergerak dalam kesadarannya, maka jadilah ia manusia seutuhnya, manusia yang seharusnya, manusia yang berkualitas. Karena kesadaran di sini adalah wujud keimanannya.
Perlu diingat adalah
jika tidak sadar sekarang, kapan lagi? Jika tidak meminta (beroda) sekarang, kapan lagi?
Sedangkan waktu yang kita punya adalah sebatas “sekarang” yang teramat sempit. Maka mari menjadi manusia, yang berakal dan berbudi, dan menjadi golongan orang-orang yang beruntung, bukan termasuk orang-orang yang merugi. Wallohul muwafiq.
*diterbitkan juga di buletin mesjid Agung Kota Tasikmalaya, November 2014
Komentar
Posting Komentar
Terimakasih atas kunjungannya, semoga bermanfaat.