Yang Tidak Tersampaikan Kepada Bapak Tercinta
Kepergian
Allohummaghfirlahu warhamhu wa'afiihi wa'fu 'anhu....
Berpulangnya bapak, entah aku siap atau tidak. Aku tidak pernah berpikir sejauh ini, aku selalu memercayai keajaiban bahwa setiap bapak sakit bapak selalu bisa bangkit. Bapak, anehnya bagiku selalu kuat. Beberapa kali sakit dirawat di rumah sakit, berhari-hari tak bisa berjalan, pada akhirnya selalu bisa kembali tegak berdiri menebar senyum dan kebaikan, mendendangkan semangat membuat senang orang yang melihat. Bapak telah menumbuhkan definisi kekuatan bangkit padaku, bangkit yang sulit, walau telah sakit begitu lama, sampai orang sehat di sekelilingnya bosan ingin bertanya kenapa sakit itu datang, atau juga lebih sakit karena melihatnya kesakitan. Dan untuk sepuluh hari di rumah sakit itu pun, aku masih percaya bapak bisa sembuh lagi....
Dokter memerintahkanku memegangi bapak dengan erat, kalau tidak jarum akan melukai bapak lebih sakit. Aku panik, aku tak kuasa. Tapi hanya ada aku di sana. Lalu kutekan kuat-kuat menahan tangannya yang diikat, saat ia menggumam menahan sakit, karena tusukan jarum-jarum, yang aku percayai membawa harapan. Tapi aku bahkan tidak tahu apakah bapak sedang sadar meski matanya menutup dan bibirnya tampak diam mengering? Aku telah menyakitinya.
Aku tak bisa bermalam, karena tidak bisa meninggalkan anakku yang masih kecil. Dan saat itu covid, sehingga ada batasan keluarga yang berjaga. Aku tidak benar-benar siap dengan kabar kematian siapapun. Di tengah malam itu, rasanya baru beberapa menit yang lalu berkabar dengan adik yang kebagian jaga, tetiba dia datang di pintu gerbang rumah dengan menangis kencang. Waktuku habis, kesempatanku habis, harapanku hilang. Orang yang sangat baik padaku itu, yang begitu selalu mengakhawatirkanku itu, yang selalu merasa belum menyukseskanku itu, yang mengantarkan aku setiap waktu menuntut ilmu, yang bersusah payah menampakkan cinta kasihnya padaku itu, telah berpulang dengan tenang, dengan iringan lantunan bacaan Al-Quran yang Bibiku bacakan.... Di sana bibi, adiknya yang paling perhatian dan menyayanginya sejak kecilnya, bukan aku.... Aku sungguh malu, aku berhutang, aku sungguh menyesal. Apakah dengan ini aku juga telah mengecewakannya?
Rasanya seperti tidak menapaki tanah, aku ikut melayang ke awang-awang entah di mana. Begitu berat kepalaku, pendek pikirku, sesak dalam dadaku. Aku ingin berteriak, jangan dulu pergi.... Aku pingsan, lidahku pun berat menahan ungkapan kesedihan dan penyesalanku. Maafkan aku pa, lagi-lagi, aku bersalah padamu.
Aku butuh waktu untuk menerima kepergianmu, pa....
Terimakasih untuk semua keajaiban yang telah ditanamkan padaku. Allah lah sebaik-baik Pemberi balasan atas segala upaya kebaikanmu untukku.
Allohummaghfirlahuu warhamhu wa'afihi wa'fu'anhu..
Laahawla walaa quwata illa billah...
Komentar
Posting Komentar
Terimakasih atas kunjungannya, semoga bermanfaat.