CINTA PUTIH

       Aku tak lagi tahu birunya langit, hangatnya sinar matahari pagi, merdunya kicau burung. Ah, burung itu. Si Gatot, membuatku cemburu saja, barangkali ia masih senang berjemur riang di atas dahan pohon di bawah langit yang terang. Oh aku juga rindu sekali sapaan embun pagi, atau berebut menyambut pelangi bersama adik-adik kecilku. Pelangi yang timbul karena bias cahaya matahari pada air yang ku semburkan. Tak lupa juga rutinitas yang aku lakukan, yang mengikis habis waktu luangku.Semua seperti melodi yang terus mengirama di jendela kerinduanku. Kini satu-satunya yang menjadi sahabatku adalah: aku sendiri! 
        Tiba-tiba ruh yang tersisa ini menjelma menjadi diriku yang lain, bersimpuh di hadapanku, menengadahkan wajahnya seperti memohonkan sesuatu untukku. Entah apa. Yang ku ingat saat ini, pekerjaanku. Yakni, mengkritisi lemahnya demokrasi para pemimpin negeri yang ternyata hanya pseudo-demokratis saja. Memancing keributan, memporakporandakan kasih sayang dan kekeluargaan demi merasa “yang paling benar”. Aku juga terkadang menuliskan puisi sebagai ungkapan terlembut atas apa yang menggelitiki hati dan otak penat kusutku dan tak henti berbicara tentang cinta negeri dan alam bumi. Namun rupanya ada yang mulai hilang dari diriku sendiri. Seperti seorang pendaki, semakin tinggi dan menengadah memandang langit yang cerah tapi kehilangan jejak langkah yang dilewati, yang telah menopangnya melaju tinggi, yang memberinya arti di ketinggian kini. 
             Kemudian aku, teringat ibu, bapak, kakak, dan adikku. Bayang-bayang itu kini mulai mengabu dan sedikit-sedikit mulai memutih. Kemudian tampaklah kini langit-langit ruangan yang selama ini menjamuku manja di dalamnya. Atas ku putih, sampingku putih, dan di hadapanku sosok berhati putih menantiku. Gerakan tangannya lincah menyodorkan semangkuk nasi dengan warna kesukaanku, sejak kapan? Entahlah, mungkin sejak ada dokter yang merasa paling tahu tentang aku dan masa hidupku. Aku panik, kenapa orang itu sebegitu cemasnya padaku. Oh ya, kukatakan ia berhati putih, karena wajahnya berseri penuh arti, tampak sekali ia telah berserah diri. Tapi bekas air mata tak dapat bersembunyi begitu saja di kelopak matanya, ia begitu layu. Kasihan sekali. Padahal ingin sekali aku bisa berdiri tegak seperti langkahnya saat ini, atau menggerakkan tangan segesit ia menyapaku pertama kalinya dengan semangkuk nasi hangat. 
“Selamat pagi… Er… Ercy” sapanya lembut. Aku masih diam. Kelu lidahku tak dapat meramu sehuruf pun. “Ku harap kau tak lagi membiarkan butir-butir ini menangis atau membiarkan dirinya dingin sendiri”.Kata-katanya berkias; merayu nafsu makanku. Aku tersentuh. 
Syukurlah sampai kini aku masih bisa mendengarkan kata-katanya dengan baik, dan syaraf motorikku rupanya masih sadar betul akan kinerjanya yang belum berakhir. Mulutku terbuka. Ia tersenyum senang. Ada kehangatan yang mulai memenuhi qalbuku. Kehangatan ini selalu kurindukan. Diam-diam cahaya matahari membagi kehangatannya denganku, menerpa pipiku sampai merona. Kehangatan inilah energi-energi Tuhan yang menambah makna pada sisa-sisa kalor di antara ribuan sampai jutaan sel hidupku. Sekeras mungkin aku berusaha menarik sedikit kerut bibirku. Ia sekali lagi tampak bahagia. Angin kecil melewati sela-sela jendela di kamarku seolah di suruh-Nya membelai rambutku, satu dua helai di dahi. Ada segar menyeruak. Oh aku bahagia sekali. Namun segera saja aku teringat, jam dinding suatu saat akan berhenti dan aku tak akan lagi menemui angka 25 di bulan ketujuh, atau bahkan 25 menit setelah ini. Karena itu aku ingin sekali menyatakan kepadanya sebuah rahasia, sebagai kado untuknya. Ulang tahun ke-52 baginya. Ini rahasiaku tentang waktu. Aku sedemikian sadar, sekarang aku dalam perjalanan ketunaan; aku telah bisu dan sebentar lagi tuli. Aku terpenjara di dalamnya. Sementara dunia ini selalu membuatku tak henti ingin melaju, bekerja dan terus bekerja. Seperti tak ingin terhentikan oleh waktu atau pertambahan populasi. Akhirnya hati dan fikirku teriris dan terus menipis, seperti waktu untukku kini. Ku katakan dalam diam: setiap gerak nadi itu berarti, setiap hembusan nafas itu mengangsur harga mati, setiap petikan nada alam adalah alarm melodi hidup untuk hidup lagi. Aku tak ingin kau tenggelam bersama fana dan waktu yang telah jelas hukumnya. “Apakah kau kan mengerti?” batinku perih. , ku harap dia memahami kata-kataku tadi. Barangkali ikatan batin antara kami masih berlaku. Benar saja, ia kini menangis. Aku sebenarnya tak setuju dengan keputusannya itu: memercayai air mata sebagai sahabat kesedihan. “Tidakkah kau ini menyayangiku? Katakan dan lakukanlah sesuatu!” katanya. Kata-kata itu persis seperti bayangku pada ibu pertiwi. Kasihan jika tak ada lagi anak negeri yang peduli padanya. Juga mengingatkanku akan mimpiku untuk pertiwi sebagai masyarakat madani: masyarakat yang menjunjung tinggi hukum yang ditopang oleh penguasaan iman, ilmu, dan teknologi yg berperadaban. Kini aku, bagaimana menyayangimu: ibu dan pertiwi? “Ibu..aku tentu sangat menyayangimu. Tapi, bagaimana aku membuktikannya dengan segala kelemahanku ini?” Tiga kali aku berkedip pelan, berharap ia membaca isyarat yang ku bisa saat ini. “Baiklah, nak. Kami lelah sekali menunggumu kembali” Ibu seperti menjawab pertanyaanku. Namun Ia hendak pergi. Hatiku berontak: Ibu jangan pergi! Aku masih ingin cinta ibu, seperti cinta untuk pertiwi yang terpatri. Oh, betapa saat ini aku inginkan miracle jatuh dan hujan cinta menyubur lagi di hati kami. Tapi aku tak punya apa-apa, tak ada daya apa-apa selain hanya mayat yang masih berkedip. [hening] Ia berbalik. Tersenyum dan mengecup keningku lembut. “Jangan khawatir, Ibu selalu mencintaimu nak!” Aku begitu terharu. Pipiku basah. Hatiku penuh syukur. Di luar ruangan terdengar dengan samar suara bapak, kakak dan adikku. Mereka teramat berburu-buru membuka pintu. Mungkin mereka telah memaafkanku yang khilaf pergi tanpa memorandum atau yang dengan berani mendinginkan diri di luar rumah, atas segala keegoisanku untuk merengkuh cintaku yang masih samar. Semenjak aku berikrar: “Demi meretas kemiskinan di negeri ini, aku tak boleh menjadi bagian dari padanya!”. Dengan semangatku: Aku cinta negeriku, aku cinta pertiwi, dan terpenting aku cinta ibu!. Aku begitu berani membuat beberapa kebijakan sendiri. Dan kebangganku atas transformasi pikiranku ini, melonjak setinggi-tingginya setiap waktu. Beberapa bulan berjalan. Tidak banyak yang aku lakukan, bahkan aku terseok di tengah jalan. Barangkali pijakanku telah terkena erosi massal anak muda. Hingga pada akhirnya, aku menyadari, mengubah negeri ini dimulai dari mengubah diri sendiri. Juga satu hal: jika aku tidak mengenal demokrasi mini di keluarga, bagaimana mengokohkan demokrasi sebagai pemimpin negeri. 
            Dan tepat saat itulah, Tuhan menampakkan gagah tanganNya, yang baru-baru ini ku sadari pula. Ayah, kakak dan adikku masuk ke ruangan di mana aku dibaringkan. Mereka sangat bahagia, aku sudah siuman. Satu persatu bergantian menyapaku dalam senyum dan haru. Aku? Tentu sangat bahagia, dan di hatiku bergemuruh syukur yang tak terbilang. Namun saat itulah, bayangku yang lain mengulurkan tangannya. Semua mengabu dan pelan-pelan memutih. Oh tugasku selesai. Mercy telah kembali dan aku pun begitu. Menyusul kesana. Sekali lagi aku bahagia. Melodi yang kurindukan, kini mampu ku alunkan. 
          Dengarkanlah!  
Tuhanku, Engkau terlalu Agung untuk kuingkari 
RahmatMu terlalu besar untuk kutukar 
Lautan ilmuMu menyamudra tak dapat ku menyelam kedalam 
Juga tak layak kukatakan: Engkau tak tahu baiknya pilihan 
Engkau tidak pernah sekali pun keliru 
Selain aku yang cacat karena silau kerlipan cahayaMu 
 Engkau yang Kekal, tak dapat disangkal 
Tak pula ada yang mampu menolak hukumMu 
Seluruh ciptaanMu membaharu tiap waktu, 
Termasuk bumi dan pertiwiku 
Tolong bangunkan negeri yang abadi untuk kami 
Biar kami kembali dan nyaman di dalamnya 
Februari, 2013

Komentar