MENGEVALUASI DIRI, MEMBAGUN NEGERI


Indonesia kita ini sedang sakit apa? Dua monster besar nan semakin kuat seperti tengah mengekang langkah-langkah pemimpin negeri yang disemati patriot bangsa. Korupsi dan narkoba. Barangkali pemahaman filsafat pragmatisme (yang meyakini realitas itu adalah yang sedang dihadapi, dan untuk masa depan) cukup dapat menggambarkan haluannya. Meraup sebanyak mungkin keuntungan kepuasan pribadi dari apa yang sedang dihadapi, dan kemudian ditabungkan sebagai pupuk untuk masa depan yang gemilang, siapa pun pasti berangan untuk melakukannya. Dan sah-sah saja manusia memiliki mimpi. Hanya saja, bagaimana jika yang diinginkan tak berorientasi pada nilai yang benar? Bermisi tapi kehilangan empati, bermimpi tapi kehilangan harga diri, berjuang tapi kehilangan iman. Apakah hati telah berpadu dengan destroyer iman? Apakah tidak ada harapan sekulerisme itu untuk dibuang? Dan apakah kita mampu bertahan dalam hidup nafsi-nafsi?
            Sebuah hadist dari Kaab bin Malik menerangkan, dari Nabi SAW bersabda, “Tidaklah dua serigala lapar dilepas dari kandang domba lebih merusak dibandingkan keruksakan agama yang diakibatkan rakusnya seseorang terhadap harta dan pangkat”. (Hadits Hasan Shohih riwayat Imam At-Tirmidzi). Dua faktor ini terlihat gagah, kedua berpotensi menawar sifat manusia semakin mulia atau malah lebih hina dari binatang jalang. Banyak harta dan atau tinggi pangkat belum tentu dapat menuai manfaat, sedikit harta dan tak berpangkat pun belum tentu membuat kita selamat. Dari sini tampaklah pembedanya yakni, perikemanusiaan. Tidak dapat dibayangkan apabila rasa sikap menepati janji, senang berbuat kebaikan dan kedermawanan juga pemaaf hilang dari hati manusia. Apala beda penghuni dunia ini?
Baiklah, terlepas dari siapa pelaku yang terlibat dalam setiap kisah bejat atau dalang hebat di balik perilaku jahat yang mengiris citra pertiwi ini, tentunya ada pelbagai cara yang dapat semua orang lakukan sebagai sumbangsi positif untuk negeri.  Salah satu yang utama adalah menjaga  kesadaran. Betapa kesadaran ini berperan penting bagi segala perubahan. Ibaratnya seperti lapar dan makanan, jika tidak ada kesadaran untuk menyuapkan makanan itu tentulah lapar akan tentap pada keadaannya. Keduanya tetap pada bentuknya. Kejahatan, kebobrokan terus terjadi. Begitu pun kesejahteraan, hanya utopis saja. Tanpa kesadaran, tidak akan pula lahir perubahan yang didamba. Mencontoh Ibnu Qayyim Al-Jauziyah, seorang imam dan cendikiawan dalam mengartikan kesadaran, baginya manzlah yaqdzah atau titik kesadaran adalah estape pertama hamba yang sedang menuju Allah (Ar-Risalah, 140). Begitu pun kesadaran dalam hal ini, adalah awal dari pemaknaan pada kesejahteraan kehidupan bersama. Semoga manzlah yaqdzah atau titik kesadaran tetap bersemayam dalam qalbu dan amal kita semua. [amiiin].   
      
(tulisan ini pernah diterbitkan dalam buletin MATAHATI edisi 4)

Komentar