MENTAFAKURI SEHAT, MENSYUKURI SAKIT

Sakit, cape, lelah, payah, dan sinonim-sinonimnya seringkali beradu (tepatnya: dibandingkan) dengan keadaan sehat, bahagia, santai, enak, dan nyaman, sebagai oposisinya. Misalnya, ada orang yang lain terlihat begitu nyaman dalam bekerja, kemudian diri sendiri merasa kok selalu tidak nyaman. Ada orang yang sedang makan terlihat begitu enak sedangkan diri sendiri sulit sekali untuk bisa menikmati sesuap nasi pun. Biasanya, ketimpangan ini biasanya melahirkan rasa lain yang berbeda dari induk dan bapaknya; iri, putus asa, tidak percaya diri, malas, cemas, dendam, dan sebagainya. Dan anak rasa inilah yang justeru membuatkan perkara baru dalam jalanan kehidupan seseorang. Rasa yang muncul dari ketimpangan yang bisa saja menjadi berkah atau petaka, pembawa kedamaian atau pembuat kericuhan. 
Baiklah, Mari kita sepakati rasa yang pertama sebagai rasa positif, yang kedua sebagai rasa negatif, yang ke tiga sebagai rasa reaktif. 
Ada apa dengan rasa-rasa positif itu?  
“Fa ammal insanu idza mabtalaahu robbuhu fa akromahu wa na’amahu fayaqulu rabbi akroman..” Adapun manusia jika diuji Tuhannya dan dimuliakan-Nya dan ia dikaruniai kenikmatan oleh-Nya, maka ia berkata: “Tuhanku memuliakanku”. (Q.S. Al-Fajr : 5) 
Rasa-rasa positif, rasa yang nikmat, itu sungguh tidak lain merupakan sebuah ujian. Barangsiapa lengah dengan rasa nyamannya, rasa bahagianya, rasa mulianya, dan semua kenikmatan rasa yang datang kepadanya, tentulah ia harus bersiap-siap dengan adzabullah. Lengah akan pengawasan Allah SWT, lengah yang tidak bertobat, lengah yang tidak bersegera sadar, lengah yang berleha-leha. Dan bahkan keseringannya, kita terlupa dalam “nikmat”. Justeru barangakali dalam nikmat itulah ujian yang terberat yang mesti menuntut kita berkonsentrasi, bertafakur akan makna dari kenikmatan tersebut. 
 
Sementara itu, ada apa dengan keadaan rasa-rasa negatif ?
 “wa amma idza mabtalaahu faqadara alaihi rizqahu fayaqulu rabbi ahanan..” Adapun apabila ia diuji dan disempitkannya, maka ia berkata: “Tuhanku menghinakanku”.  
Ya, setiap kali rasa sebal, bosan, sedih, bingung, rumet, sulit, dan sebagainya datang, kita sering memberikan judgement lebih awal dan lebih awas. Misalnya, melihat langit yang mendung. Pikiran bahwa langit akan segera mencairkan hujan berkelebat demikian cepat. Segala aktivitas pun demikian awas mengikuti pikiran tersebut, bersiap-siap. Tidak pernah terbersit yang lebih cepat itu adalah akan adanya pelangi setelahnya,
yang lebih indah. Perumpamaan lainnya adalah, ketika menghadapi suatu beban yang terasa sulit. Keluhan dan putus asa terasa lebih kuat membentengi, bayangan telak gagal pun seperti menjadi payung sejati. Takut. Padahal, bahkan Allah SWT telah berjanji, bahwa sesungguhnya dalam kesulitan itu ada kemudahan. (Al-Insyirah: 5 – 6). Janji yang niscaya, yang tidak akan pernah di ingkari. Maka, apalah salahnya manusia mensyukuri masa-masa tersulitnya, jika ia meyakini adanya kemudahan setelahnya. Bukankah sebenarnya ketika masa itu ada ia justeru berada dalam janji tadi, dimudahkan oleh Dia yang Maha Mengatur Segalanya.

Lantas di manakah sifat reaktif itu berada dalam ayat ini? 
Akraman & Ahanan. Merasa dimuliakan, atau merasa dihinakan. Padahal segala puji hanya milik Allah semata. Padahal Allah itu Terpuji, tidak mendzolimi. Berhati-hatilah, bertafakurlah dengan rasa positif (nikmat), bersyukurlah dengan keadaan negatif, cerdaslah menentukan rasa reaktif! 



(calon tulisan saya di MATAHATI edisi 9, bulan Juni) dibuat didetik-detik terakhir deadline ^0^

Komentar