VOLUNTER DAN UANG

Beberapa bulan terakhir biaya operasional sekolah (BOS) belum juga cair. Padahal sebagaimana fungsinya biaya ini mengambil peran yang besar untuk operasional kegiatan belajar mengajar di sekolah. Kehadirannya juga menjadi soal yang sangat sensitif. Bahkan hampir sering orang menyepakati bahwa apapun tergantung adanya uang. Ada uang ada barang, tak ada uang abang kutendang. Sepertimana yang pacaran pun beralasan belum menikah itu karena untuk menghidupi keluarga tidak makan dengan cinta, tapi juga butuh biaya – uang. Para pengamen di jalanan pun bertutur, bukannya tidak mau bersekolah sampai jenjang yang tinggi dan bergelar itu ini, tapi semuanya menuntut uang, dan akhirnya bekerja untuk uang dan uang, lantas apa beda dengan pekerjaan ini? Oh, inikah zaman materialis? 
Tidak lancarnya dana BOS memang sesuatu yang mengganggu, bahkan katakan sangat. Bahkan diberitakan beberapa sekolah mengeluh karena sekolah telah bertupuk hutang untuk ini dan itu. Ya, bagaimanapun sekolah membutuhkan sokongan dana untuk peningkatan mutunya, atau untuk pengelolaannya. Khususnya untuk sekolah yang belum mandiri, atau belum memiliki donatur lain, artinya sekolah yang masih mengandalkan efektivitas operasinya pada dana BOS saja. Tapi apa daya jika itu memang telah terjadi dan menjadi salah satu dampak sistemis dari ketidak beresan yang terjadi. Apakah “berhenti” beroperasi itu pilihan yang bijak? Sebegitu miskinkah negeri kepulauan ini? 
Penyikapan akan ketidakberdayaan ini tentulah melahirkan dua macam respon: positif dan negatif. Ketika penyikapannya dengan saling salahmenyalahkan, tentu hasilnya adalah salah, karena yang diusahakan adalah tentang salah dengan salah. Bukankah sudah jelas dampak yang terjadi tersebut adalah karena adanya masalah, lantas apa jadinya jika mencoba menyelesaikannya dengan tema salah menyalahkan? Di manakah akan ditemukan kebenaran dan jalan keluar? 
Adapun ketika penyikapannya dengan saling mengakui kekurangan dan berusaha bersama-sama membangun, memperbaiki, dan memenej lebih baik, bukankah hal ini lebih terpuji? Kullun yamal ala syakilatih, semua bekerja di bidangnya masing-masing, ini lebih aman dan cenderung tidak menambah masalah. 
Pun halnya dengan apa yang terjadi dalam konteks yang terjadi dan tadi telah diketengahkan. Kelangkaan uang, seyogyanya tidak menjadi pengaruh utama keefektifan operasional sekolah. Guru, harus tetaplah menjadi guru beserta sikap, sifat, dan amanat yang senantiasa terus melekat sepanjang hayat. Sekolah tetap pada fungsinya, pun halnya badan yang memayunginya harus tetap menjalankan kewajibannya. Orang tua, masyarakat, penyedia lapangan pekerjaan, alias para stakeholder, tetap menghormati dan menghargai kinerja dan kerja keras orang lain. 
Semua layaknya terus bertahan dan bahkan semakin mengencangkan semangat heroik pendidikan, jika memang apa yang kita tuju adalah menuju Indonesia yang lebih bermutu, lewat pendidikan. Dan hasil ahirnya nanti kita nikmati bersama-sama. Bukankah ini lebih adil? Selanjutnya, harapan dari penyikapan secara baik-baik tersebut adalah pembuktian bahwa manusia itu makhluk yang mulia. Tidak terkalahkan oleh harta dan tahta yang berujung pada kebusukan yang menghinakannya. Tidak menjadi korban yang terus berjatuhan. Melainkan menjadi relawan dan pahlawan yang terus dikenang dan tak lekang oleh jaman. Bukankah mulia, ketika manusia menghargai hidupnya, menghormati kodratnya, bukan menjualnya dengan nominal yang berujung di nol dan titik.

Adapun maksud dari penyikapan ini tidak menganaktirikan soal pentingnya keuangan akantetapi lebih menawarkan solusi masalah dengan mengutamakan optimalisasi fungsi para penggeraknya. Yakni jika para operator berfokus pada tugas dan kerjanya maka tidak ada waktu untuk mengeluhkan kekurangan, melainkan berfikir untuk menyukseskan. Yakni mereka, para penggerak yang tergerak, para pengendali yang terkendali, dan tidak berorientasi pada profit pribadi. Serta mengingat bahwa pendidikan bukanlah mesin uang ATM, yang tugasnya mengeluarkan uang atau terus menimbun uang. 
Akantetapi pendidikan memiliki mulia; mencetak generasi penerus bangsa yang beradab, menelurkan umat yang cermat dalam membentuk peradaban, melahirkan orang-orang bijak dan tepat dalam bertindak memimpin di garda depan bangsa. Karenanya untuk tugas mulia ini hendaknya volunter-volunter itu berdiri dengan tegak mantap bak sosok power ranger. Di samping itu mereka para pengantar yang berkualitas ini tidak terganggu inflasi sama sekali. Dan inilah harta sesungguhnya dalam pendidikan, harta yang teramat berharga dan memperkaya pendidikan Indonesia, para volunter!. 


Tulisan terbit di MATAHATI edisi IX, 2013 (naskh awal)

Komentar