SOAL PESERTA DIDIK: MEMANDANG DARI SUDUT YANG TEPAT

Oleh H. Maman, S.Pd., Guru SDN. Batuwulung, Kec. Cikalong 

Kegiatan merenung, merefleksi, atau dalam bahasa arab kita kenal dengan istilah tafakur merupakan hal yang baik. Bahkan bisa dikatakan bahwa ia adalah hal yang menuntut alias harus dilakukan oleh para pelaksana pendidikan (termasuk di dalamnya guru). Perlu dipahami bahwa sadar atau tidak sadar terkadang kita suka mengambil sudut pandang yang kurang tepat, sehingga kesuksesan dalam hidup dan kehidupan sulit didapat, misalnya, salah dalam memandang anak. 

Ketika guru salah dalam memandang anak atau peserta didiknya maka itu akan dapat berdampak buruk dalam arah dan strategi penbelajarannya. Sebagai ilustrasi: suatu saat kita dihadapkan pada suatu tempat pembuangan sampah, maka akan tercium di hidung: bau tak sedap dan karenanya menjadi mual-mual, terlintas di mata: pemandangan yang menjijikkan sampai mata kita merasa muak/enggan dan berpaling. Hal itu terjadi karena kita mengambil sudut pandang yang kurang tepat. Maka untuk mendapat hal yang lebih baik seyogyanya kita bisa mengubah sudut pandang itu sendiri sehingga mata batin akan melihat jelas sisi indahnya. 

Dalam permisalan yang tadi, jika melihat dari sudut positifnya, kita bisa melihat semua itu sebagai tumpukan bahan bakal jadi uang, andai itu (sampah) bisa diberdayakan. Begitu juga kita dalam memandang anak yang terkadang terlihat nakal, bodoh, atau pendiam, menyebalkan atau sikap lain yang tak disukai. Mata yang salah mengambil makna akan menganggap anak tersebut laksana tempat sampah yang menjijikkan, sudah bodoh, tidak memperhatikan, membuat ulah, bau, ingusan pula! Itu merupakan pandangan yang keliru. 

Tapi andaikan kita mau mengubah sudut pandang, kita dapat memandang dengan bijak bahwa pada diri anak terpendam potensinya sendiri, tersimpan keunikan, bakat, minat yang memerlukan pengarahan, bimbingan, latihan dan pembiasaan. Siapa tahu, dengan kesadaran, kesabaran, tekun, dan ulet anak yang dipandang laksana tumpukan sampah tadi dalam waktu 20 tahun ke depan dapat menjadi bak mata uang yang berlaku di semua bangsa di dunia dengan prestasinya. Sebagaimana, pemain cabang bulu tangkis ganda campuran Tontowi Ahmad dan Liliyana Natsir yang akrab dipanggil Owi dan Butet, kita ketahui keduanya bisa meraih medali emas dalam Olimpiade Rio dan mengharumkan bangsa Indonesia di mata dunia. 

Diakui ataupun tidak, yang jelas saya yakin mereka pernah menduduki bangku sekolah dasar. Bakat dan minat mereka mungkin sudah mulai dilatih dibina oleh sang guru bijak pada 20 tahun yang lalu. Dan apabila saya adalah gurunya saat itu, tentu saat ini saya akan merasa sangat bangga dan bahagia atas keberhasilan mereka. Karenanya, mudah-mudahan kita dapat memandang anak didik kita dengan bijak, memandang dengan kasih sayang, menggali dan mengarahkan potensi yang terpendam pada diri mereka. 

Perlu kita sadari bahwa anak merupakan individu yang kaya akan kekhasan dan keunikan masing-masing. Pepatah Sunda mengatakan “ jalmi teh teu papak tapi pepek. Marilah kita membiasakan memandang dari sudut pandang yang tepat, memandang dengan bijak atas segala permasalahan hidup, dan kehidupan terutama di dunia pendidikan. Dengan cara pandang yang tepat, tumbuhlah ikhlas dalam berbuat, maka insya Alloh akan ada lagi owi-owi dan butet-butet lain kelak menyusul-menorehkan prestasi (dalam bidang apapun) yang tentu akan membuat kita semua dan Indonesia bangga. 

Hanya satu pertanyaannya: siapkah kita menjadi guru yang berada di balik kesuksesan mereka?

Komentar