HUJAN, PAYUNG, DAN GEROBAK

Aku sedang berdiri di depan toko jam, menunggu hujan lebat ini reda. Suasana hujan begini membuatku melayangkan ingatan mengenang saat-saat berada di jalan itu bersama seseorang. Bagaimana kami pernah melewati toko demi toko, mencari barang yang pas. Pas di hati pas di kantong. Aku sering kali bimbang memilih barang, suka yang itu tapi takut harganya. Mau harga yang murah, tapi takut gak bisa kepakai lama dan perlu cepat diganti. Alhasil, tak jarang pencarian dari toko ke toko itu tak membawa apa-apa. Hanya lelah yang tersisa. Tapi, dia tidak pernah mengeluhkan itu. Dia biarkan anak perempuan semata wayangnya memilih sesuka hati, mungkin pembiarannya adalah agar aku benar-benar jeli sebelum menentukan, belajar bijak. Hanya ketika begitu keterlaluan, dia pun menarik napas panjang dan langsung bergegas menuju motor yang terparkir. Pulang tanpa banyak lagi bicara, kadang tahu-tahu barang itu kelak menjadi hadiah tak terduga. Ah! Tak terasa pipiku basah, masker juga. 
 
"Tidak boleh menangis!" Seakan seseorang memperingatkanku. Tapi kini aku sedang berada di depan toko jam yang pernah ingin dia kunjungi, namun urung. Jika tidak terhalang oleh keadaan ekonomi saat itu, mungkin kami akan benar-benar memasuki toko ini, dan akan kusaksikan dia memilih dan mengenakan jam terbaik yang akan awet dipakainya. 
"Hey!" Suamiku menghentikan lamunanku. 
"Sudah selesai?"Kataku, sambil buru-buru menghapus basah di pipi. Ya, meski aku tak akan bisa menyembunyikan keadaanku padanya.
"Ya, hm..."Dia menepuk pundakku, menyesal meninggalkanku sendirian.
"Maaf, ka. Tapi beliau suka memakai jam tangan dan..." Tak sampai hati aku menceritakan kenangan itu. Sekali lagi kuhapus air mataku, dan kupalingkan wajah ke depan sana. Seorang anak kecil sudah basah kuyup sedang dipasangkan jas hujan kuning oleh ibunya. Ibunya berpayung cukup besar, tapi dia tetap basah karena hujan yang begitu deras. Setelah memasangkan jas hujan anaknya, Ibu itu mendudukkan anak itu ke atas gerobaknya, memakaikan topinya dan menenangkannya. Itu bukan gerobak jualan, hanya gerobak rusak berisi sampah yang sudah dipilahnya. Lalu mereka melanjutkan perjalanannya, padahal hujan semakin deras. Dan ternyata ada satu lagi anak yang berjashujan kuning di sana, mungkin tadi dia bersembunyi di pinggir gerobak? Uh, pemandangan ini menambah pilu saja. Tapi, aku tak bisa menawarkan mereka apapun, mereka jauh di seberang, dan hujan begitu deras mengalahkan suara apapun. Bahkan knalpot kendaraan. Kini mereka bertiga mereka menyusuri jalan raya bersama gerobaknya, turut melaju di antara mobil-mobil dan kemacetan.

"Gimana kalau kita pulang?" Bujukku, sebelum ia bertanya banyak.
"Masih hujan..."
"Oh andai ada payung." 
"Hm, tuh lihat! Kenapa anak itu hujan-hujanan sedangkan di depannya ibu-ibu itu memakai payung yang besar?" 
Benar saja. "Ya mungkin mereka gak ada hubungan, jadi masing-masing." Masa tega ada ibu membiarkan anaknya kehujanan dan dia enak-enakan berpayung sendirian kan.
"Tapi lihat, banyak." 
"Oh, tukang payung!" Aku senang."Ayo nyebrang sama mereka!"
Kupanggil salah satu anak yang sudah selesai mengantar pelanggannya. Berkelebat pikirku tentang mereka. Anak-anak kuat, yang tak takut kehujanan. Anak-anak cerdas yang pandai memanfaatkan peluang. Anak-anak mandiri, berkeinginan. Aku bersyukur.

Penarik gerobak dan penyewa payung, keduanya membagi arti padaku hari ini. Orang tua penuh kasih sayang saat merawat anaknya, itu adalah sesuatu yang indah. Juga anak yang belajar mandiri, mendayakan kekuatan dirinya, jua sesuatu yang indah. Keduanya baik, yang ketika digabungkan, mungkin kebaikan mereka menjadi kehangatan yang kekal dan menjadi bekal perjalanan yang menyenangkan. 

"Mari kita terima hujan ini, aku ingin pulang hujan-hujanan."Kataku meyakinkan suamiku yang sedari tadi memastikan aku lebih tenang. "Terimakasih".


Komentar