KREM

Ubin-ubin itu seharusnya berwarna krem dan garis-garis pembatasnya adalah warna merah muda. Warna kremnya akan cukup menenangkan ketika berpadu dengan tembok putih. Setenang seorang wanita berbalut mukena putih berenda krem yang kini tengah bersimpuh sujud di barisan belakang mushalliin. Sujudlah dia dengan kekhusyukkan, merapatkan anggota sujudnya lekat di atas sejadahnya. Pendengarannya masih awas, sehingga ia mampu mengikuti gerakan imam yang jauh di depannya dengan tertib, tak mendahului juga tidak tertinggal. "Aku memohon ampunan padaMu Ya Allah Yang Maha Agung," ucapnya dengan suara merendah dalam aturan nafasnya yang pelan. Ia sungguh terlihat tenang. Oh begitulah orang yang merasa Rabbnya senantiasa mengawasinya. Ia berusaha taqarrub, mendekatkan dirinya dengan Rabbnya, menjauhkan pikirannya dari sibuknya dunia sebelum dan sesudah ia shalat, dan menjernihkan hati yang kian keruh ketika lepas dari mengingati Rabbnya.

Srek Srek Srek!
Di luar terdengar gaduh, suara-suara sendal beradu dengan suara para pemiliknya yang saling meninggikan nada juga bercampur dengan engahan nafas. 
"Kita pasti masih keburu!"
"Tidak, kita sepertinya akan terlambat"
"Bagaimana jika benar-benar terlambat? Siapa yang akan berdiri sebagai imam?"
"Kamu saja!"
"Risman, kamu yang paling cerdas"
"Tapi Khalid yang paling ganteng!"
"Wildan paling bagus suaranya!"
Oh itu anak-anak kompleks. Terlambat memang, tapi ada yang lebih fatal dari keterlambatannya. Keterlambatan datang hanya akan berakibat pada terlambatnya berjamaah, namun bisa membuat lagi shaf yang baru. Tapi soal kegaduhan? Tentu saja banyak orang yang terkena imbasnya. Salah satunya makmum bermukena renda krem tadi. 

Dia keluar menemui anak-anak itu. "Nak, pelankanlah suaramu dan langkahmu. Tak usah terburu-buru. Mari masuk ke dalam masjid dengan tenang!" Mushallin lain tidak ada yang peduli. Paling mudah memang diam, tapi paling berbahaya adalah mengatai sesama muslim dengan keburukan. Anak-anak senang jika diberi pengertian, apalagi kesempatan. Kesempatan memperbaiki diri tentulah bakal jadi momen berharga dalam kehidupan seseorang, bahkan hampir semua orang. 

Setelah doa dipanjatkan, rupanya tempat mulia ini kembali sepi. Semua orang menunaikan kembali hajat hidupnya. Tinggal keempat anak ini yang baru menyelesaikan rakaat terakhirnya. Imam mesjid menghampiri mereka dengan senyuman ramah khasnya. Dia dipanggil Aki (Kakek) dan Anak-anak tidak akan melewatkan percakapan dengannya.
"Anak-anak yang hebat. Assalaamualaikum."
"Waalaikumussalam, ki." jawab mereka serentak. 
"Kami hebat apanya ki, kami terlambat lagi." Habib menyesal.
"Iya ki, kami tadi keasyikan main game. Pas Kak Rofiq azan, kami tak menghiraukannya." Khalid melanjutkan.
"Hahaha. Bahkan aki belum sepatah kata pun menegur, kalian sudah mengakui sendiri. Apa itu bukan bukti kecerdasan?"
"Ya aki, kami tahu. Tapi kami tetap terlambat, masih seperti kemarin." Risman tampil.
"Oh tentusaja akan selalu begitu, jika kalian tidak bersungguh-sungguh untuk mendapatkan keutamaan azan dan shaf pertama. Tapi tahukah kalian kesalahan apa yang membuat Bu Fatimah keluar menemui kalian tadi?"
"Berisik ya, Ki."
"Lebih tepatnya kalian terburu-buru. Masjid ini adalah tempat untuk kita beribadah, di dalam ibadah itu kita butuh untuk khusyuk, jiwa yang tenang, hati yang bersih. Dan tentu keadaan itu tidak akan hadir dalam ketergesaan. Dalam sebuah hadist sahih Bukhari, Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: 'Jika kalian mendengar iqamat dikumandangkan, maka berjalanlah menuju sholat dan hendaklah kalian berjalan dengan tenang berwibawa dan jangan tergesa-gesa. Apa yang kalian dapatkan dari sholat maka ikutilah, dan apa yang kalian tertinggal maka sempurnakanlah.'"
Anak-anak menyimak dengan seksama. Alhamdulillah, semuda itu mereka berkesempatan mendapatkan cipratan cinta seorang yang mencintai Nabinya.

Kenapa tidak semua orang datang ke mesjid dengan ketenangan?
Jangan lupa, ubin-ubin di dekat pintu awal masuk itu, tempat mereka datang pertamakali dan berwudhu, kini tak lagi berwarna krem. Lumut seakan tumbuh di dekat keran air, dan lantainya seakan berlendir. Di sudut-sudutnya tampak noda menghitam seperti sudah lama tak terjamah sikat. 

"Adakah yang berkenan membantu Aki kali ini?" Ucap Aki memutus keheningan.
"Aku siap ki!"
"Bantu apa ya Ki?"
"Kalau kami mampu, akan kami coba Ki!"
Beruntunglah mereka yang patuh pada orang tua. Beruntunglah mereka yang bersemangat untuk saling membantu.
Aki bergegas keluar, ke tempat wudhu. Di ambilnya sikat dan sabun. Bukankah menyenangkan bermain air? Eh, bersih-bersih berjamaah.
"Kami datang, Ki!"

***

Komentar